KEPEREMPUANAN & KEPEMIMPINAN



Dalam beberapa waktu ini isu kesenjangan gerder menjadi isu yang sangat kompleks dan tidak adanya sesuatu titik cerah dimana dalam bahasa hukum obscurlibel . Dengan presentasi 30% pemangku jabatan didunia politik itupun belum bisa menyelesaikan permasalahan hingga saat ini. Munculnya Siaran Pers Nasional Nomor: B-042/Set/Rokum/MP 01/03/2019 Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Yohana Yembise berbagi pengalaman terkait hal yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan sinergi dalam pemberdayaan perempuan di New York pada sesi High Level Interactive Dialogue among Ministers on Priority Theme dalam rangkaian Sidang ke– 63 Commission on the Status of Women (CSW63). Visi pembangunan nasional Indonesia menyoroti kaum perempuan sebagai komponen kunci menuju pengentasan kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan berkelanjutan ini semoga membuahkan hasil yang membuaskan serta dapat dirasakan oleh semua kalangan tentunya dengan partisipasi aktif beberapa elemen masyarakat. Ketika  landasan (pondasi) sudah dibangun kokoh maka tinggalkan kita meneruskan pembangunan supaya mencapai puncak.
Berbicara masalah gender yang merupakan pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumber dan berkembang dikalangan masyarakat. Gender sendiri memiliki beberapa peran seperti peran produktif, reproduksi dan peran sosial masyarakat. Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan menafsirkan perbedaan biologis ini Misalnya, hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Aspek yang membedakan perempuan dan laki-laki tersebut seringkali menjadi patokan masyarakat dalam menentukan pemimpinnya. Sebagaimana halnya ras, etnik, dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi berdasarkan gender-dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan yang berbeda-beda. Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini.
Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di seluruh dunia. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai negara atau wilayah. Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. karenannya kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.
“Sebagai manusia yang memiliki Hak Asasi Manusia seyogyanya mampu menelaah apa itu kebebasan? Apabila kita mendengar kata kebebasan maka pertama ialah kita fikirkan bahwa orang laian tidak memaksa kita untuk melakukan sesuatu melawan kehendak kita. Namun kata bebas memiliki arti mendasar yaitu bahwa kita mamou untuk menentukan sendiri, berbeda dengan binatang, apa yang mau kita lakukan” Franz Magnis-Suseno. Jadi mengenai kebebasan kita bisa mengklasifikasikan dalam 2 bentuk yang pertama disebut kebebasan sosial dimana kita mencapai suatu bebasan dari orang lain dan yang kedua adalah kebebasan eksistensial dimana kebebasan itu adalah murni kita peroleh dari kehendak kita.
Barangkali isu tentang perempuan hari-hari ini sudah  hangat diperbincangkan, akan tetapi perlu kita ketahui bahwa disekeliling kita acap kali muncul perbedaan perspektif tentang perempuan dalam kepemimpinannya.  Misalnya "disebuah desa pesisir Kabupaten Bone, Kecamatan Awangpone, yakni Desa Mallari. Desa ini dipimpin oleh seorang kepala desa perempuan pertama yang terpilih karena politik dinasti, yakni ibu Andi Wahyuni. Walaupun demikian,  beliau memiliki pendekatan yang baik dengan masyarakat lewat blusukan ke rumah-rumah warga untuk mengetahui gambaran nyata mengenai kondisi kehidupan masyarakat. Selain pendekatan yang baik dengan masyarakat, kepala desa perempuan tersebut berorientasi pada isu-isu inklusif dalam kepemimpinannya".(Geotimes)
Angela Merkel - Kanselir Jerman sampai sekarang, Kajian terhadap sejumlah literatur oleh Robbins (1998), sehubungan dengan isu gender dan kepemimpinan mengemukakan dua kesimpulan. Pertama, menyamakan antara laki-laki dan perempuan cenderung mengabaikan perbedaan diantara keduanya. Kedua, bahwa apa yang menjadi perbedaan antara perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan memiliki gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive (menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah). Hampir semua studi yang melihat pada isu tersebut menggunakan ‘jabatan manajerial’ sebagai persamaan dari ‘kepemimpinan’. Dalam hal ini, perbedaan gender yang nampak dalam populasi pada umumnya cenderung bukan merupakan bukti karena ini merupakan pilihan karir pribadi dan seleksi organisasi.
Konsisten dengan kesimpulan yang pertama, guna membuktikan lebih akurat bahwa tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, maka penemuan ini oleh para peneliti tersebut dikualifiasikan dengan cara memasukkan variabel kontrol. Ini dimaksudkan agar dapat diketahui dengan benar apakah perbedaan gender benar-benar mempengaruhi tingkat efektivitas seseorang dalam memimpin ataukah tidak. Dengan memasukkan variabel kontrol yakni ‘jenis pekerjaan yang banyak didominasi kaum laki-laki’, penelitian tersebut menemukan bahwa terdapat tingkat kecenderungan penurunan bagi pemimpin perempuan yang semula lebih demokratik ketimbang laki-laki menjadi kurang demokratik terutama ketika perempuan tersebut berada dalam pekerjaan yang didominasi laki-laki. Disini nampak bahwa norma-norma kelompok dan stereotype maskulin dari para pemimpin mengabaikan preferensi kepribadian perempuan sehingga perempuan tersebut meninggalkan gaya keperempuanannya dalam pekerjaan dan bertindak lebih otokratik (Robbins, 1998).
Mindset kita harus berubah dari wanita ke perempuan, mengapa? Apabila kita menengok sejarah arti dari kata “wanita” dalam bahasa jawa dijelaskan terdiri dari kata wani lan ditata artinya wanita berani dan ditata. Sosok perempuan yang berani (wani) dan harus ditata oleh suami. Berbeda dengan “perempuan” jika diartikan secara jawa yaitu terdiri dari kata empu yang merupakan sari dari sebuah tanaman. Kata empu yang mendapat awalan per dan akhiran an jadilah perempuan. Misalnya “Perempuan itu lebih peka sehingga saat terjadi permasalahan, kita dapat mengetahuinya lebih cepat,” Dhini, Co-Founder dari Gandeng Tangan, situs aplikasi yang membantu pinjaman dana bagi social entrepreneur. Baginya, perempuan adalah makhluk perasa sehingga feeling-nya menjadi lebih kuat. Dalam menjalankan perusahaan, keganjilan-keganjilan akan lebih mudah diketahui karena kepekaan yang dimiliki oleh perempuan. “perempuan itu bisa lebih fokus dalam menyelesaikan pekerjaannya—terutama jika beban kerjanya banyak. Soalnya, perempuan sudah terbiasa dengan banyaknya pekerjaan dalam satu waktu, mulai dari pekerjaan kantor, tanggung jawab sebagai ibu, hingga semua hal yang berkaitan dengan penampilan. Hal ini membuat wanita tetap bisa fokus meski memiliki banyak tanggung jawab,” Tety, CTO dari Kredibilitas, aplikasi untuk membantu kaum disabilitas mendapatkan pekerjaan formal.
Perempuan yang memiliki keahlian atau kompetensi memimpin negara, boleh menjadi kepala negara dalam konteks masyarakat modern karena sistem pemerintahan modern tidak sama dengan sistem monarki yang berlaku di masa klasik dimana kepala negara harus mengendalikan semua urusan kenegaraan. Peran perempuan yang berkembang di masyarakat baik dari aspek refroduksi, ekonomi, sosial, politik dan kepemimpinan Islam bahwa selama ini perempuan ditempatkan hanya sebagai anggota dalam hal kegiatan kemasyarakatan atau keorganisasian. Hal ini dilihat dari perempuan yang aktif diorganisasi kemasyarakatan serta tidak memiliki ciri-ciri pemberani seperti halnya dengan laki-laki. Alasan inilah sehingga program kerja yang diusulkan perempuan tidak begitu banyak untuk diterima dan implementasikan ke dunia politik yang ada. Kendala yang dialami perempuan dalam kegiatan organisasi kemasyarakatan yaitu melalui beberapa persoalan antara lain pendidikan, pekerjaan, keadilan dan kesetaraan gender, peran domestik, budaya patriarkhi, agama dan hubungan kekeluargaan. Semua ini adalah masalah yang sering dihadapi perempuan dalam aspek kehidupan di masyarakat. Sehingga terkesan bahwa selama ini banyak perempuan yang tidak mau terlibat dengan persoalan partai, dan kemudian kendala lain yang sering terjadi di beberapa partai yaitu terjadinya diskriminasi terhadap perempuan bahkan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dalam kegiatan kemasyarakatan.
Banyak perempuan yang telah menduduki jabatan sebagai pemimpin, akan tetapi Untuk tampil sebagai pemimpin ada hambatan yang seolah-olah tidak terlihat tetapi dalam kenyataannya merintangi akses dalam menuju kepemimpinan puncak antara lain Isu gender dan ketidakadilan (di Indonesia gender belum memiliki padanan kata, sehingga tetap digunakan) sifatnya melekat dan dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Manisfestasi ketidakadilan gender kemiskinan ekonomi, misal: dengan alih fungsi lahan bisa menggunakan tenaga perempuan, di daerah upah untuk perempuan lebih rendah (penggajian yang tidak equal), subordinasi, pembentukan stereotipe, kekerasan, beban kerja lebih karena dianggap itu sudah menjadi kodratnya, sosialisasi ideologi peran gender.
Masih ada fakta kurang menyenangkan bagi perempuan seperti masih tinggi tingkat kekerasan pada perempuan, kesenjangan pembangunan antara perempuan dan laki-laki, terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap fasilitas kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, kurangnya peran perempuan dalam lembaga publik yang lebih luas (seperti partisipasi di bidang politik dan jabatan strategis di bidang pemerintah) Dan Ketika perempuan menjadi pemimpin apakah mereka akan memiliki keberpihakan kepada perempuan? Inilah tantangan yang harus dijawab oleh perempuan di berbagai bidang masing-masing. Secara kultural, perempuan masih dibelenggu oleh budaya patriarki, perempuan di sektor domestik, laki-laki disektor publik. Akses dan partisipasi perempuan dalam kepemimpinan masih rendah.
Dari sisi norma, perempuan menjadi pemimpin sudah sangat kuat sekali (dari UUD 1945 sangat jelas disebutkan dan dari berbagai UU sudah ada peraturan yang kuat, dan saat ini sedang dibahas UU Desa dimana perempuan sangat memungkinkan untuk masuk). Peluang cukup besar bagi perempuan di 2 pemilu terakhir (2004: UU Parpol yang mengharuskan adanya kuota perempuan, bias saat ada kata “bisa” dalam Parpol). Hambatan bagi perempuan: politik uang yang terjadi di semua level ketika terjadi perempuanoses pemilihan, termasuk saat PEMILU (ditambah lagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang perempuan pragmatis).
Maka dari itu dalam menghadapi tantangan global diperlukan kepemimpinan perempuan yang visioner, berfikir inovatif, mempunyai kemampuan manajemen waktu, membina kerja tim, mengenali dirinya, percaya diri, berperspektif gender. Juga yang harus dilakukan ke depan: memperkuat jaringan, memperkuat pendidikan politik untuk pemilih pemula. Harus ada pendidikan politik yang tuntas, ada pendidikan kewarganegaraan yang baik di sekolah-sekolah, dan tantangan agama Islam yang bias gender.
 
Penulis  : Selvia Wisuda
Editor   : Rizal Fatoni

Komentar

Karya Intektual Insan Akademis