PEMBATALAN POLIGAMI DAN AKIBAT HUKUMNYA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM



Perkawinan merupakan faktor yang sangat penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan perkawinan sebagai suatu susunan masyarakat di Indonesia, dan perkawinan itu sendiri merupakan salah satu peristiwa hukum terpenting dalam kehidupan manusia. Pada hubungan ini agama sebagai sumber nilai menduduki tempat tertinggi. Diundangkannya Kompilasi Hukum Islam sebagai tatanan peraturan-peraturan yang mengatur syarat sahnya segala sesuatu yang berhubungan dengan agama islam itu sendiri, khususnya dalam menilai sah dan tidaknya suatu perkawinan. Maka dalam hal ini penulis memberikan khasanah dalam penyusunan makalah penelitian, yaitu Pembatalan Perkawinan Karena Poligami dan Akibat Hukumnya Menurut Kompilasi hukum Islam.
Pada penyusunan makalah penelitian ini penulis akan memaparkan beberapa penjelasan tentang Perkawinan, Poligami, serta Pembatalan Perkawinan dan akibat hukum yang timbul dari pembatalan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam tersebut. Pada perkawinan yang sah dapat dilakukan apabila memenuhi syarat dan rukun perkawinan yang telah ditentukan, terutama yang mengacu pada Hukum Islam. Selanjutan pada Pembatalan Perkawinan penulis membedakan Pengertian Perkawinan Batal dengan Hukum. Apabila kita telah paham dalam Kompilasi Hukum Islam tentang syarat perkawinan dapat dibatalkan, dengan artinya bahwa suatu perkawinan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan syarat atau syarat-syarat perkawinan yang telah ditentukan oleh Kompilasi hukum Islam tersebut yang bersandar pada Undang-undang No. 1 tahun 1974 yang menjadi acuan lain dalam hal yang berhubungan dengan perkawinan.












PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang Masalah
Umat Islam mayoritas dan masih eksis di Indonesia, karena itu tetap menjadi  sebuah peluang besar bagi umat Islam di Indonesia untuk menjalankan Syariat Islam dan berhukum dengan hukum Islam. Namun idealisme serta harapan ini bukanlah hal yang mudah seperti kita membalikkan telapak tangan, akan tapi butuh perjuangan, pengorbanan, serta upaya yang maksimal dalam rangka merealisasikannya. Meskipun demikian, umat Islam di Indonesia layak bersyukur, walaupun sampai saat ini hukum yang masih berlaku di Indonesia adalah hukum konvensional alias bukan hukum Islam, namun ada beberapa aspek-aspek kehidupan yang masih menerapkan hukum Islam. Di antaranya hal-hal yang menyangkut masalah pernikahan, perceraian, hak asuh anak, juga masalah pembagian harta waris, sebagaimana yang banyak kita kenal dengan istilah “Kompilasi Hukum Islam (KHI)”. Dan sebagaimana kita ketahui bersama, KHI ini banyak digunakan sebagai acuan ataupun dalil bagi Pengadilan Agama.Undang-undang poligami sendiri terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada UU Perkawinan.
Perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia dan perkawinan itu sendiri merupakan salah satu peristiwa hukum terpenting dalam kehidupan manusia karena dengan perkawinan timbullah hubungan hukum antara suami dan istri. Pada hubungan ini agama sebagai sumber nilai menduduki tempat tertinggi. Perkawinan berarti berlaku pula hukum masing-masing agama dan kepercayaan yaitu sebagai hukum untuk perkawinan. Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “nikah” ialah melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan sutu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang, ketentraman, kenyamanan, dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah. [1]
Agama Islam juga telah melanjutkan pembinaan institusi kekeluargaan dengan menyari’atkan pernikahan, Islam menjelaskan bahwa pernikahan merupakan ketentraman bagi jiwa suami istri, kenyamanan jasad dan karunia bagi kehidupan dan hingga akhir peredarannya. Al-Qur’an berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan masalah institusi keluarga, salah satu terdapat dalam surah An-Nisa, disana dijelaskan bahwa kedua belah pihak dari institusi ini diciptakan dari saripati yang sama, seakan-akan keduanya merupakan jiwa yang menyatu, tak ada kelebihan antara yang satu dengan hyang lainnya, bagi dalam segi penciptaan atau dalam unsur kelebihan diantara keduanya terdapat faktor eksternal dan standar lain dan muncul karena adanya sifat-sifat yang diupayakan. Maka manfaat yang utama dalam perkawinan ialah menjaga dan mengupayakan perempuan yang pada hakikatnya bersifat lemah dibandingkan dengan laki-laki dalam segi fisik, serta seorang perempuan, apabila ia sudah kawin, maka nafkahnyajadi wajib atas tanggungan suaminya. Perkawinan juga berguna untuk memeliharakerukunan anak cucu (keturunan), serta perkawinan juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, karena bila tidak ada perkawinan maka manusia akan menurunkan sifat kebinatangan.
Oleh karena itu syari’at islam merupakan beberapa ketentuan yang mengaturnya yaitu syariat/ rukun dan hukum nikah.                                                                                Hukum nikah ada 5 (lima) yaitu :
1.        Jais (diperbolehkan), ini asal hukumnya;
2.        Sunnah, bagi orang-orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya;
3.        Wajib, bagi orang-orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda kepada kejahatan (zina);
4.        Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah;
5.        Haram kepada orang yang berniat dan menyakiti atau perempuan yang dinikahinya.
Sedangkan rukun nikah adalah sebagaia berikut:
1.        Sight (aqad) yaitu perkataan dari pihak wali perempuan;
2.        Wali (wali si perempuan);
3.        Dua orang saksi. [2] 
Ada atau tidaknya persetujuan istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu adalah persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak dengan memperhatikan surat-surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau surat keterangan pajak penghasilan; atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. [3]
 Dengan kelengkapan semua itulah, baru sang suami yang ingin memperistri lebih dari satu orang perempuan dewasa dapat melakukan praktek poligami. Sebagaimana yang telah disunahkan oleh Agama islam dan yang sudah diatur di dalam Kompilasi hukum Islam.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka penulis mencoba untuk mengadakan suatu penulisan khusus menegenai pembatalan perkawinan dengan judul : Pembatalan Poligami dan Akibat Hukumnya Menurut Kompilasi Hukum Islam.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka dalam makalah penelitian ini dirumuskan permasalahnnya sebagai berikut:
A.    Mengapa dapat terjadi pembatalan poligami menurut Kompilasi Hukum Islam?
B.     Bagaimana prosedur dan akibat hukum pembatalan poligami menurut Kompilasi Hukum Islam?
C.      
C.       Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.      Tujuan Penelitian
a.       Untuk mengetahui hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan karena poligami menurut Kompilasi hukum Islam.
b.      Untuk memberikan pemahaman dan pengetahuan terhadap khalayak umum tentang pembatalan poligami menurut Kompilasi Hukum Islam.
c.       Untuk mengetahui akibat hukum yang timbul dari pembatalan poligami menurut Kompilasi Hukum Islam.
2.      Manfaat Penelitian
a.       Bagi Pemerintah : Diharapkan dapat memberikan kontribusi dan pengembangan bagi ilmu hukum pada umumnya di Pengadilan Agama.
b.      Bagi masyarakat : Diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca sekaligus masyarakat tentang hukum poligami.
c.       Bagi Mahasiswa dan Akademisi : Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan referensi bagi mahasiswa dan akademisi di penelitian selanjutnya.
D.       Metode Penelitian
Metode pendekatan
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian hukum normatif atau hukum dogmatif yang memiliki kajian hukum yang positif. Penelitian ini bersumber dari bahan-bahan hukum. Bahan hukum yang berupa informasi tentang hukum, yang pada dasarnya dilakukan melalui penelusuran literatur penelitian didasarkan pada ketentuan Kompilasi Hukum Islam.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tinjauan Umum Perkawinan dan Poligami
1.         Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
            Dalam ajaran Islam, perkawinan adalah merupakan perintah Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW, seperti disebutkan dalam suatu hadist : “Nikah adalah sebagian dari sunnahku, barangsiapa tidak suka dengan sunnahku, maka tidak termasuk golonganku.” (H.R. Bukhari)
            Selain itu perkawinan merupakan fitrah yang dituntut oleh hajat alamiah manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Karena sudah merupakan kodrat alam, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin yang berlainan seorang pria dan seorang wanita, mempunyai rasa saling ketertarikan satu sama lain untuk hidup bersama membentuk suatu keluarga di dalam suatu perkawinan.[4]
            Perkawinan sebenarnya adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia bukan saja antara suami istri dan anak bahkan antara dua keluarg, keluarga dari pihak istri dan pihak suami. Hal tersebut terlihat dalam firman Allah Surah An-Nisa ayat 1 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً  وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ  إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا  ﴿النساء:١﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”[5]

Betapa eratnya hubungan suami istri itu digambarkan didalam surah al-Baqarah ayat 187:
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ  وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ ﴿البقرة:١٨٧﴾
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf(1) dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.[6]
                  Dengan kata lain penjelasan tersebut di atas bahwa antara suami istri harus saling melindungi, menutupi dan meniadakan kelemahan masing-masing dan selanjutnya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan atau dibatasi oleh suatu apapun. Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Ini berarti bahwa antara suami istri berpegang pada prinsip pergaulan, yaitu:[7]
a.       Pergaulan yang makruf (pergaulan yang baik) yaitu saling menjaga rahasia masing-masing.
b.      Pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman dan tentram).
c.       Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai terutama di masa muda).
d.      Pergaulan yang disertai Rahmah (rasa santun menyantuni terutama setelah masa tua).
Dasar hukum tentang perkawinan menurut Hukum Islam antara lain:
Al- qur’an surah An Nuur ayat 32:
وَأَنكِحُوا۟ الْأَيٰمَىٰ مِنكُمْ وَالصّٰلِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا۟ فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ ۗ وَاللَّهُ وٰسِعٌ عَلِيمٌ
     Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. [8]
Al- qur’an surah ar-Rum ayat 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
     Dan di antara tanda-tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.[9]
                 Sahnya perkawinan menurut Hukum Islam telah memenuhi rukun dan syarat perkawinan. Rukun perkawinan adalah hakekat dari perkawinan itu sendiri, yaitu unsur pokok yang merupakan tiang dalam setiap perbuatan hukum, jadi tanpa adanya salah satu rukun perkawinan mungkin dilaksanakan. Sedangkan yang dimaksud dengan syarat perkawinan adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan tetapi tidak termasuk hakekat dari perkawinan itu sendiri, syarat perkawinan merupakan unsur pelengkap bagi sahnya perkawinan dan akan menimbulkan hak-hak segala kewajiban dari perkawinan.



                 Berdasarkan uraian diatas, sahnya perkawinan  menurut Hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Calon Mempelai (calon istri dan calon suami)
Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan ini adalah suatu conditio sine quanom  (merupakan syarat mutlak, absolut, tidak dapat dipungkiri), bahwa logis dan rasional kiranya karena tanpa calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan tentunya tidak ada perkawinan.[10]
Ketentuan mengenai calon mempelai hampir sama dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang perkawinan (UU No.1 Tahun 1974),yaitu:
1.      Batas usia kawin, yaitu 19 tahun untuk calon suami dan 16 tahun untuk calon istri, hanya saja dalam kompilasi tidak disebutkan kemungkinan dispensasi sebagaiman yang diatur dalam pasal 7 (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan : “ Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita”.
2.      Masalah perizinan bagi mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : “ Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.
3.      Persetujuan calon mempelai, adalah sejalan dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 “ Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”, namun dalam Kompilasi diatur secara lebih lengkap dan teknis. Dimana dalam Kompilasi disebutkan bahwa persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan,lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

b.      Wali nikah yang disebutkan dalam pasal 20 ayat (2) Kompilasi hukum Islam
Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.[11]
عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، بَاطِلٌ باَطِلٌ. فَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلِيٌّ فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهَا. ابو داود الطيالسى
Dari ‘Aisyah bahwasannya Rasulillah bersabda: “ Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali, dan siapa saja wanita yang nikah tanpa wali maka nikahnya batal, batal, batal. Jika dia tidak punya wali, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang tidak punya wali”. (HR. Abu Dawud Ath-Thayalisil).
Sesuai dengan ketentuan yang ada di Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 20 ayat (2) bahwasannya wali nikah itu terdiri dari :
1.      Wali Nasab
Wali yang mempunyai hubungan darah patrilinial dengan calon mempelai wanita. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain, yaitu:
a.       Kelompok kerabat laki-laki gari lurus keatas yakni ayah, kakek,dan pihak ayah dan seterusnya.
b.      Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.
c.       Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara ayah, saudara seayah dan ketuunan laki-laki mereka.
d.      Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.
2.      Wali Hakim
Wali yang apabila wali baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan. Dalam hal wali adhal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut.


c.       Saksi nikah
Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Dalam pasal 24 Kompilasi Hukum Islam di ayat (2): “ Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Sangat jelas sekali didalam Kompilasi hukum Islam tersebut, pelaksanaan pernikahan harus dihadiri oleh dua orang saksi sebagai salah satu rukun nikah yang disebutkan dalam pasal 24 ayat (1) : “ Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah”.  
d.      Akad Nikah
Ijab kabul adalah ucapan dari orang tua atau wali mempelai wanita untuk menikahkan putrinya kepada sang calon mempelai pria. Orang tua mempelai wanita melepaskan putrinya untuk dinikahi oleh seorang pria dan mempelai pria menerima mempelai wanita untuk dinikahi. Iajab kabul merupakan ucapan sepakat antara kedua belah pihak. Pernyataan ijab harus segera disusul dengan pernyataan kabul dengan maksud untuk menunjukkan bahwa sampai pada saat itu kedua belah pihak bermaksud menikah satu dengan lainnya denhgan disaksikan oleh dua orang saksi. Hal ini mencerminkan adanya kebebasan menyatakan kehendak tanpa dipengaruhi atau mendapat tekanan dari pihak lain.
Selain perkawinan harus dilakukan menurut Hukum Islam, bukan berarti perkawinan selesai begitu saja, memang pada dasar hukum islam nya sudah sah menjadi sepasang suami dan istri akan tetapi perlu juga diaadakan atau dicatatkan di Pegawai Pencatat Nikah agar sesuai dengan prosedur negara dan dapat diakui oleh negara. Perkawinan juga harus dicatatkan, ini berarti suatu perkawinan harus dilaksanakan/dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah dan apabila tidak dilakukan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum (pasal 5 dan pasal 6 Kompilasi Hukum Islam).
Agar perkawinan tersebut dapat berjalan dengan lancar dan menjadi sah secara hukumnya maka pihak-pihak yang hendak melaksanakan perkawinan tersebut yaitu calon mempelai pria dan wanita harus memenuhi syarat-syarat  tertentu. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah (pasal 15 sampai dengan pasal 18 Kompilasi Hukum Islam) :
1.        Telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun, dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dan harus mendapat ijin bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan :
(2). Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
(3). Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4). Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu untuk menyatakan kehendakanya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dari garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
(5). Dalam hal ada perbedaan pendapat antar orang-orang yang disebut dalam ayat (2),(3),dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam pasal (2),(3) dan (4) pasal ini.
2.    Tidak karena paksaan, artinya harus berdasarkan atas persetujuan dari kedua calon mempelai. Paksaan sangat erat hubungannya dengan perceraian dan masalah-masalah yang akan timbul ketika sudah sah menjadi suami istri yang mengakibatkan perceraian, maka dari itu calon mempelai pria maupun wanita harus tidak ada paksaan dan harus berdasarkan hati nurani mereka.
3.    Tidak terdapat halangan perkawinan atau larangan perkawinan bagi calon mempelai suami dan istri tersebut.
               Halangan perkawinan atau larangan perkawinan ada yang berlaku selama-lamanya dan ada juga yang berlaku yang berupa larangan-larangan yang bersifat sementara waktu saja. Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai larangan kawin pada pasal 39 sampai dengan pasal 44.
1. Larangan yang berlaku untuk selama-lamanya terdapat di pasal 39 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut:
1. Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
2. Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya
b. dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya
c. dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul.
d. dengan seorang wanita bekas istri keturunannya.
3. Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus keatas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah.
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas.
e. dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya.

2.    larangan kawin yang bersifat sementara waktu
Maksudnya adalah larangan perkawinan dengan seorang wanita dalam waktu tertentu saja, karena ada sebab yang menghambat atau yang mengharamkan diadakan perkawinan tersebut dan apabila sebab itu hilang maka perkawinan boleh dilaksanakan. Di kompilasi hukum islam juga diatur tentang larangan perkawinan yang bersifat sementara tersebut yang terdapat di dalam pasal 40 sampai dengan 44 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut :
Pasal 40
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu :
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain.
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain.
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.
Pasal 41
(1) Seorang pria dilarang memadu istrinya dengan seorang wanita yang memilki pertalian nasab atau susuan dengan istrinya:
a. saudara kandung, seayah atau seibu serta keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun istri-istrinya telah ditalak raj'i, tetapi masih dalam masa iddah.
Pasal 42
Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunya 4 (empat) orang istri yang keempat-empatnya masih terikat perkawinan atau masih dalam iddah talak raj'i ataupun salah seorang di antara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj'i.
Pasal 43
(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas istrinya yang ditalak tiga kali
b. dengan seorang wanita bekas istrinya yang di li'an
(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a gugur kalau bekas istrinya tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba'da dukhul dan telah habis masa iddahnya.
Pasal 44
Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam.
Seseorang wanita yang masih berada pada dalam masa iddahnya dengan pria lain, baik iddah kematian maupun dengan talak. Adapun masa iddah lain yang dimaksud adalah seperti yang diatur dalam pasal 153 sampai dengan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
Pasal 153
(1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah dari bekas suaminya, kecuali qabla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang- kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla al dukhul
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid kerna menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.
Pasal 154
Apabila istri tertalak raj'i kemudian dalam waktu iddah, sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, ditinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.
Pasal 155
Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li'an berlaku iddah talak.
2           Poligami menurut Kompilasi Hukum Islam
Kata poligami terdiri dari kata “ poli” dan “gami”. Secara etimologi,poli artinya “banyak”, gami artinya “istri”. Jadi, poligami itu artinya beristri banyak. Secara terminologi, poligami yaitu “ seorang lakilaki mempunyai lebih dari satu istri”. Atau “ seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak empat orang”[12].
 Poligami adalah sistem yang telah lahir sebelum Islam. Islam muncul di tengah-tengah sistem yang mempraktikkan poligami. Poligami menjadi sebuah sistem yang melekat di Arab, yang dilaksanakan semata-mata untuk kebutuhan jasmani, biologis serta beberapa aspek masyarakat. Islam sendiri tidak memisahkan antara kehidupan bangsa Arab pada masa jahiliah dengan bangsa Arab pada masa Islam, tetapi Islam membersihkan pola kehidupan tersebut dengan mempertahankan kebaikan yang terkandung didalamnya, membuang segala hal yang seharusnya dibuang, dan meluruskannya dengan tujuan yang sesuai.
Islam membolehkan laki-laki melaksanakan poligami sebagai alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan mauapun pelajaran yang jelas-jelas diharamkan oleh agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus kedalam jurang maksiat yang dilarang oleh agama Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil-seadilnya.
Dasar pokok Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami terdapat di firman Allah SWT dalam QS an-Nisa ayat 3:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat diatas menerangkan bahwasannya seorang laki-laki boleh menikah dengan perempuan lebih dari seorang saja dan dibatasi sampai empat orang perempuan, akan tetapi apabila mampu berlaku adil terhadap istrinya, maka diperbolehkan berpoligami. Yang dimaksud dengan adil adalah perlakuan yang adail dalam meladeni sitri, seperti: pakaian, tempat tinggal, dan lain-lain yang bersifat lahiriah. Islam memang memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dan ayat tersebut membatasi diperbolehkannya berpoligami hanya empat orang saja. Namun, apabila takut akan berbuat durhaka apabila menikah dengan lebih dari seorang perempuan, maka wajiblah ia menikah dengan seorang perempuan saja.
 Ketentuan pasal-pasal didalam Kompilasi Hukum Islam tentang poligami, sebagaimana diatur pada bab IX Kompilasi Hukum Islam, ternyata syarat-syarat yang diberikan tidak hanya bersifat substansial tetapi juga syarat-syarat formal. Pertama, pasal 55 yang memuat syarat substansial dari pendapat poligami yang melekat pada seorang suami yaitu terpenuhinya keadilan terhadap isteri-isterinya.
Pasal 55:
(1).  Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang isteri.
(2). Sayrat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
(3). Apabila syarat utama yang disebutkan pada ayat (2) tidak dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang.
Syarat ini adalah inti dari poligami, sebab dari sinilah munculnya ketidak sepakatan dalam hukum akan adanya poligami. Dan dipertegas pula didalamnya bahwa apabila suami tidak mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya maka seorang suami dilarang berpoligami. 

Pasal 56:
 (1). Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
(2). Pengajuan permohonan izin dimaksdu pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagiaman diatur dalam bab VIII Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1975.
(3). Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.
Pasal diatas merupakan syarat-syarat formal poligami yang harus dijalani seorang suami. Peraturan ini dibuat sebagai perlindungan hukum bagi pelaku poligami karena di Indonesia adalah negara hukum sehingga segala urusan hubungan manusia maka pelaksanaannya harus diketahui oleh instansi yang berwenang yaitu Pengadilan Agama (PA). 
Pasal 57
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal diatas merupakan syarat-syarat yang bersifat substansial, melekat pada seorang isteri yaitu kondisi-kondisi nyata yang melingkupi seorang isteri sehingga menjadi alasan logis bagi seorang suami untuk berpoligami. 
Pasal 58
(1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-isteri dan anak-anak mereka.
(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau denganlisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.
(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinyasekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.
Pasal diatas merupakan syarat-syarat formal yang diperankan seorang isteri sebagai respon terhadap suami yang hendak memadu dirinya yang melibatkan instansi yang berwenang. Aturan-aturan ini sebagai antisipasi untuk menjaga hubungan baik dalam keluarga setelah berjalannya keluarga poligami.

Pasal 59
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Bunyi pasal diatas menjelaskan sikap Pengadilan Agama untuk bertindak dalam menghadapi perkara poligami dari isteri yang saling mempertahankan pendapatnya. Dengan demikian ketentuan poligami dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak bertentangan dengan ruh nash.
Poligami dihalalkan oleh Islam dapat memberikan keadilan dan kesaksamaan kepada semua individu yang terlibat yaitu, suami, istri dan anak-anak, karena mereka diakui dari segi hak dan tanggungjawab mereka disisi undang-undang. Istri dan anak tersebut akan mendapat nafkah dan harta pusaka yang ditinggalkan oleh suami dan bapak mereka. Islam membolehkan poligami karena pertimbangan kemaslahatan hidup manusia. Namun begitu perlulah adil dalam melakukan poligami tersebut. Allah tidak menetapkan suatu syariat bagi hamba-hambanya melainkan untuk mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat bagi mereka.

B.     Pembatalan Perkawinan karena Poligami Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkan akad nikah. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat nikah (pasal 22-28 UU No. 1 tahun 1974). Berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat, akan tetapi apabila perkawinan itu telah terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.
Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut Soedaryo Soimin : “Pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai Undang-Undang”. “Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan Pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”.[13] Bagi perkawinan yang dilangsungkan secara Islam pembatalan perkawinan lebih lanjut dimuat dalam Pasal 27 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 yang menyatakan: “Apabila pernikahan telah berlangsung kemudian ternyata terdapat larangan hukum munakahad atau peraturan perundang-undangan tentang perkawinan, Pengadilan Agama dapat membatalkan pernikahan tersebut atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan”. Dengan demikian suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan bisa dibatalkan oleh Pengadilan.
Menurut Riduan Shahrani, sehubungan dengan pelaksanaan pembatalan perkawinan bahwa perkawinan dalam Islam mungkin “putus demi hukum” artinya: “Apabila ada atau terjadi suatu kejadian, kejadian mana menurut hukum Islam mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu. Kejadian yang mengakibatkan lenyapnya keabsahan perkawinan itu, misalnya si suami atau isteri murtad dari agama Islam dan kemudian memeluk agama atau kepercayaannya bukan kitabiyah. Maka perkawinannya putus demi hukum Islam”.[14] Perkawinan yang putus demi hukum tersebut maksudnya adalah perkawinan yang putus dengan sendirinya, namun bukan putus dengan sendirinya yang dikarenakan kematian yang itu bersifat alamiah.
Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah para keluarga dalam garis lurus ke atas dari suami dan istri dan orang-orang yang memiliki kepentingan langsung terhadap perkawinan tersebut. Suatu perkawinan dapat batal demi hukum dan dapat dibatalkan oleh pengadilan. Secara sederhana ada dua sebab terjadinya pembatalan perkawinan. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Contoh pertama, misalnya tidak terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi dan alasan prosedural lainnya. Sedangkan yang kedua contohnya adalah perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah sangka mengenai calon suami atau istri.
Dalam kajian hukum islam, suatu tindakan baik yang berhubungan dengan hukum taklifi maupun hukum wad’I bisa bernilai sah dan bisa bernilai fasad (fasid) atau batal (batil). Fasad dan fasakh nikah pada hakikatnya adalah rusak dan putusnya akad perkawinan karena putusan pengadilan. Sebenarnya agak tipis perbedaan antara keduanya, sebab apa yang disebut fasakh oleh sebagian dianggap sebagai fasad oleh sebagian yang lain.[15] Dalam hukum islam, pembatalan perkawinan disebut juga fasakh. Fasakh berarti mencabut atau menghapus. Hukum islam hanya mengatur sebatas poligami saja, tidak mengatur atau mengenal pembatalan atas perkawinan. Kalau ternyata di dalam kehidupan suami istri tidak dapat dipertahankan lagi hubungan yang dibina, maka perceraianlah yang dilakukan.
Arti fasakh ialah merusakkan atau membatalkan. Berarti bahwa perkawinan itu diputuskan atau dirusakkan atas permintaan salah satu pihak oleh hakim Pengadilan Agama.[16] Tuntutan pemutusan perkawinan ini disebabkan karena salah satu pihak menemui sesuatu yang ganjal pada pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum berlangsungnya perkawinan. Pada dasarnya fasakh adalah hak suami dan istri, tetapi dalam pelaksanaan lebih banyak dilakukan oleh pihak istri dari pada pihak suami. Hal ini mungkin disebabkan karena suami telah mempunyai hak talak yang diberikan agama kepadanya.[17]
Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu isteri tidak lagi halal bagi suaminya, tidak boleh lagi besama suaminya berhubungan ataupun berkumpul seperti sedia kala dan ini terjadi dalam talak ba’in. Sedangkan arti mengurangi pelepasan ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi bagi suami yang mengakibatkan berkurangnya jumlah talak yang menjadi hak suami dari tiga menjadi dua, dan dari dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilangnya hak talak itu, yakni menjadi talak raj’i.[18]
Fasakh dalam arti bahasa adalah batal sedangkan dalam arti istilah adalah membatal dan lepasnya ikatan perkawinan antara suami dan istri, adakalanya disebabkan terjadinya kerusakan atau cacat pada akad nikah itu sendiri dan adakalanya disebabkan hal-hal yang datang kemudian dan menyebabkan akad perkawinan tersebut tidak dapat dilanjutkan.[19]
Fasid nikah merupakan suatu Putusan Pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum. Hal itu dibuktikan seperti tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun perkawinan atau disebabkan dilanggarnya ketentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut. Contoh: Pertama, karena persyaratan, missal keduanya dinikahkan tanpa wali atau wali tidak berhak menjadi wali. Kedua, karena ketentuan nikah tidak boleh dilaksanakan, misal menikahi wanita yang masuk dalam kelompok yang diharamkam untuk dinikahi. Kalau diketahui sebelum akad, hal itu berakibat terhalangnya perkawinan tersebut. Akan tetapi, kalau halangan tersebut baru diketahui setelah akad dilangsungkan, nikah tersebut difasid- kan.
Sebagaimana firman allah swt, dalam surat an-nisa ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

       “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam praktek di Pengadilan Agama, bahwa pembatalan perkawinan dilakukan terhadap perkawinan yang cacat hukum atau kurang syarat dan rukunnya, sebagaimana yang telah disyari’atkan dalam syari’at islam, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Pembatalan perkawinan dapat terjadi apabila berdasarkan atas alasan yang dikemukakan, dan dari alasan tersebut pembatalan perkawinan tidak dapat disamakan dengan perceraian karena alasan yang digunakan dalam perceraian tidak sama dengan alasan pembatalan perkawinan. Begitupula para pihak yang berhak menggunakan atau mengajukan pembatalan tidak terbatas pada suami atau istri saja.
Kompilasi hukum islam sebagai sebuah kitab hukum yang dijadikan pegangan hakim di Pengadilan Agama, juga mengcover permasalahan pembatalan perkawinan ini. Hal ini terlihat dalam bab XI tentang batalnya perkawinan pasal 70-76 yang dirumuskan secara lengkap dan terinci.
Batalnya suatu perkawinan dapat terjadi baik ketika akad perkawinan dilakukan ataupun setelah terjadinya perkawinan yang kemudian para pihak mengajukan pembatalan perkawinan terhadapnya. Sebagaimana yang telah di atur dalam kompilasi Hukum Islam Pasal 70 mengenai perkawinan batal apabila :
a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri, sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam iddah talak raj’i.
b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili’annya.
c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba’da al dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya.
 d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau keatas.
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan susuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau perkawinan dilangsungkan. Dan batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, seperti yang dijelaskan dalam kompilasi hukum Islam Pasal 74 ditentukan sebagai berikut :
 1. Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
2. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

C.    Akibat Hukum yang Timbul Pembatalan Perkawinan Karena Poligami Menurut kompilasi Hukum Islam
Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 75 dan Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam yang mempunyai rumusan berbeda. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.l Tahun 1974 menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan beritikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas dasar adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
 Pasal 75 kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau isteri murtad.
b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum tetap.
 Pasal 76 Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa:
 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. Seharusnya di dalam perkawinan ini yang berhak menikahkan bertindak sebagai wali nikah merupakan kakak kandung dari calon mempelai wanita.

















BAB III


Daftar Pustaka

UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Cet.ke-4, Jakarta: Prenada Media Group,
2010.
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978.
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003.
Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003.
A Zahdi Mu’dlor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk) Al Bayun, Bandung, 1994.
Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya, Gema Risalah Press Bandung, 1993.
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulang Bintang, 1974.
Majelis taffaqqun fiddin, Jum'at, 5 Jumadil Awwal 1435 H / 7 Maret 2014 10:31 WIB https://mtf-online.com/
Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Surakarta, Buana Cipta, 1986.
Rahmat Hakim. Hukum Perkawinan Islam. Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU perkawinan (UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan), Cetakan Keempat, liberty, yogyakarta, 1999.
Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang No.1 Tahun 1974), Yogyakarta, Liberty, 2004.
Sulaiman Rasjid, fiqh islam, Cetakan ke 33, Sinar Baru algensindo, Bandung,2000.
Tanpa nama, Kamis, 28 Maret 2013, Tafsir Al qur’an Al karim, http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-nur-ayat-32- 40.html, Rabu, 10 Mei 2017





[1] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan UU perkawinan (UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Cetakan Keempat, liberty, yogyakarta, 1999, h.8
[2] Sulaiman Rasjid, fiqh islam, Cetakan ke 33, Sinar Baru algensindo, Bandung,2000, h. 382
[3] Lihat pasal 5 UU no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
[4] A Zahdi Mu’dlor, Memahami Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk) Al Bayun, Bandung, 1994, h. 114
[5]Majelis taffaqqun fiddin, Jum'at, 5 Jumadil Awwal 1435 H / 7 Maret 2014 10:31 WIB https://mtf-online.com/surah-nisa-ayat-1-6-seri-tadabbur-al-quran.
[6] Ibid, Al- Baqarah 187
[7] Departemen Agama, Alqur’an dan Terjemahannya, Gema Risalah Press Bandung, 1993, h.6
[8] Tanpa nama, Kamis,28 Maret 2013,Tafsir Al qur’an Al karim, http://www.tafsir.web.id/2013/03/tafsir-nur-ayat-32-40.html,Rabu,10 Mei2017
[9] Ibid, Ar – Ruum ayah 21
[10] Idris Ramulyo,opcit, h.51
[11] Kompilasi Hukum Islam, pasal 20 ayat 1
[14] Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung, Alumni, 1978, Hal.42.
[15] Rahmat Hakim. Hukum Perkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2000. hal 187
[16] Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan (UndangUndang No.1 Tahun 1974), Yogyakarta, Liberty, 2004, hal. 113.
[17] Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta, Bulang Bintang, 1974, hal. 194.
[18] Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta, Kencana, 2003, hal.86.
[19] Abdul Azis Dahlan, Ensilopedi Hukum Islam, Jakarta, Ikhtiar Baru, 2003, hal. 217.

Penulis : Aditya Pradana
Editor   : Rizal Fatoni / Ibnul Afan

Komentar

Karya Intektual Insan Akademis