PANCASILA SEBAGAI SOLUSI UNTUK MERETAS SEKTARIANISME AGAMA DI INDONESIA




Istilah Sektarianisme berasal dari kata ‘sekte’ yang berarti kelompok orang yang mempunyai kepercayaan atau pandangan yang sama dalam suatu agama. Sektarianisme adalah suatu diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik. Konflik sektarian seringkali merujuk pada konflik kekerasan religius dan politik seperti konflik antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara).
Namun sekte menjadikan suatu kalangan tidak harmonis jika tidak memiliki pemahan pluralisme seperti nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila yang mengajarkan nilai-nilai pluralisme dan dikalangan bernegara sering kita temukan sekte menjadi bahan senjata untuk memprofokasi demi terciptanya ketamakan.
Pada dasarnya sekte seringkali kita lihat dikalangan sosial masyrakat, dan banyak faktor yang mempengaruhi sekte itu sendiri. Jika pembahasan sekte menjadi permasalahan masyrakat, lantas apa neraca untuk mengukur kebenaran yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang plural seperi indonesia ini.Justru itu pancasila sebagai konsep praktis Indonesia menjadikan pluralisme adalah suatu keistimiewaan dalam bernegara, pancasila adalah hasil perumusan yang mendalam dengan melihat sekala yang besar sehingga nilainya merujuk pada semua masyarkat.
Indonesia adalah salah satu bangsa dengan berbagai keanekaragaman, baik dari segi budaya, ras, suku maupun Agama, sehingga menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang kaya dengan pluralitas. Manusia sebagai makhluk Tuhan tidak bisa dipisahkan dari keberagaman dan pluralitas. Keberagaman itu sendiri juga tidak bisa dipisahkan dari kemanusiaan dan ini sudah menjadi ketentuan Tuhan. Keberagaman dan pluralitas inilah yang menjadi keindahan bagi kemanusiaan itu sendiri. Namun kekerasan bernuansa agama di negara ini telah mengoyak kemanusiaan dengan keberagamannya itu. Pro-kontra pluralisme agama di Indonesia senantiasa menjadi latar belakang munculnya konflik-konflik sosial dan yang lainnya.
Menurut Soerjono Soekanto konflik merupakan suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman atau kekerasan. Sementara, Coser berpendapat bahwa konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.
Belakangan ini, seperti yang kita ketahui di Indonesia banyak terjadi permasalan-permasalahan baik antar agama, maupun di dalam internal Agama Islam Sendiri. Konflik antar agama cenderung dipengaruhi oleh kepentingan politik, sedangkan konflik antar kelompok atau mazhab dalam Islam disebabkan oleh adanya perbedaan penafsiran mengenai Al-Qur,an. Karna seperti yang kita ketahui bahwa dalam Al-Quran tidak dijelaskan secara gamblang mengenai teori- teori atau sistem bernegara yang harus diterapkan.
Dalam hal ini, sekte antar agama kemungkinan lain yang menjadi penyebabnya dikarenakan masing-masing agama memandang struktur ekonomi, pembangunan dan tekhnologi itu bisa saja berbeda, dilanjutkan mengenai perkembangan pemikiran tentang politik dan agama yang dimulai dari masa klasik sampai kontemporer menyebabkan munculnya tokoh dengan pemikiran yang beragam. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya model dan bentuk kenegaraan dalam masyarakat muslim. Ini tidak lain merupakan respon terhadap masuknya pahaman Barat ke dunia Islam. Dominasi Barat di dunia Islam membuat beberapa orang berusaha untuk mencari jawaban atas identitas Islam sebenarnya dan mengintegrasikannya dengan gagasan-gagasan Barat
.
Salah satu pemikiran yang menjadi wacana di Barat adalah
sekularisme.Sementara wacana ini dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan prinsip keagamaan yang diyakini oleh sebagian pemikiran Islam. Salah satu faktornya dikemukakan oleh Karen Amstrong Dalam “The Battle for God: A History of Fundamentalism”, fudamentalisme radikal agama hanyalah merupakan sebuah respon irrasional terhadap sekularisme dan krisis spiritual dunia modern. Lain halnya dengan pandangan Heriyanto dalam buku “Nalar Saintifik Peradaban Islam”. Baginya, mereka memilih fundamentalisme agama disebabkan karena keterasingan mereka di tengah hingar bingar dunia modern ditambah oleh himpitan ekonomi, ketidakadilan global, dan marginalisasi, sehingga membuat sebagian dari mereka mencari jalan pintas lewat fundamentalisme agama.
Dengan berbagai fenomena yang terjadi akibat sektarianisme agama, tentu diperlukan solusi untuk meretas kesenjangan ini. Tetapi pertanyaannya kemudian,apakah solusi yang tepat? Sesungguhnya kita tidak perlu mencari jauh- jauh solusi terkait hal tersebut, karna sejak awal para pendiri Bangsa kita telah memikirkan solusi atas kondisi Indonesia yang Plural ini, yaitu Pancasila. Pancasila melalui slogannya Bhineka Tuggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua), mengandung makna bahwa meskipun masyarakat Indonesia sangatlah plural baik dari segi agama, suku bangsa, bahasa dan sebagainya tetapi mereka diikat dan disatukan oleh sebuah landasan hidup bersama (common platform) yakni Pancasila. Secara serupa, Piagam Madinah juga merupakan rumusan tentang prinsip-prinsip kesepakatan antara kaum Muslim Madinah dibawah pimpinan Nabi SAW dengan berbagai kelompok non-Muslim di kota itu untuk membangun tatanan sosial-politik bersama.
Sektarianisme adalah suatu diskriminasi atau kebencian yang muncul akibat perbedaan di antara suatu kelompok, seperti perbedaan denominasi agama atau fraksi politik. Konflik sektarian seringkali merujuk pada konflik kekerasan religius dan politik seperti konflik antara Katolik dan Protestan di Irlandia Utara (meskipun kepercayaan politik dan pembagian kelas memainkan peran yang penting pula).
Seperti yang telah di uraikan pada bagian pendahuluan, bahwa pada dewasa ini Sekterianisme Agama baik itu dalam skala dunia maupun skala Indonesia bukanlah hal yang baru, hal ini telah terjadi bahkan berabad-abad Sebelum Masehi. Jika kita tinjau secara Historis munculnya Sekte, terutama dalam Agama Islam dimulai sejak Rasulullah Wafat. Belakangan ini kebanyakan dari golongan muslim yang menghancurkan Islam, mereka tidak menyadari bahwa tindakannya hanya akan menghancurkan Islam itu sendiri. Berkumpul bersama mereka, berdiskusi, atau bahkan hanya melihat mereka, dapat membawa kegelapan dihati kita. Dalam agama Islam, konflik antara Sunni dan Syiah merupakan contoh konflik sektarian. Konflik antara Sunni dan Syiah muncul di Irak dan Pakistan.
Namum pada dasarnya sekte agama tidak hanya berkaitan penting dengan keyakinan melainkan banyak manusia yang menggiring isu sekte dalam perubahan sosial baik dalam pembangunan maupun tekhnologi. Sehingga pertarungan ekonomi dan politik menjadi hal yang paling fundamental dalam kehidupan bersosial, pada sisi tertentu sumuanya baik-baik saja namun karena faktor kekuasan sehingga tidak heran lagi ketika sekte agama menjadi senjata dalam pertarungan bernegara. Dan ini akan diikuti oleh perkembangan kapitelalisme lanjut seperti yang dijelaskan oleh Max Weber dalam bukunya “Etika protestan dan semangat kapitalisme”.
Weber melihat bahwa institusi agama sangat besar peranannya dalam membentuk sistem perekonomian di eropa. Tegasnya ‘agama adalah penyebab, sedang sistem ekonomi adalah efek dari pengaruh agama itu’. Weber menjelaskan argumennya dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. Teologi Calvin sebagai bagian dari Kristen Protestan, besar sekali pengaruhnya dalam perkembangan kapitalisme ini. Dalam dominasi ini Tuhan dilukiskan sebagai pemilik segala hal, dan dengan demikian Ia pemelihara kontrol total terhadap alam semesta. Eksistensi manusia semata-mata adalah anugerah dari kemahakuasaan Tuhan, dan manusia tidak bisa mempertanyakan keputusan Tuhan, mereka cukup menerima saja hal itu dalam iman. Setiap manusia Kristiani tidak dianjurkan untuk hidup dalam asketis, akan tetapi harus bekerja keras dan menanam modal atas simpanan mereka sebelumnya agar kehidupan mereka menjadi sejahtera.
Disini bisa dilihat bahwa pengaruh agama bisa menimbulkan suatu konstruksi besar terhadap berubahan sosial, kadangkala sekte agama menjadi perbandingan sehingga terciptalah perpecahan yang diakibatkan adu domba agama.mengenai penjelasan sekte agama diatas, mesti kita bertanya mampukah negara meretas permasalahan Sektarianisme Agama ini, khususnya Indonesia ? Sebelum menjawab hal ini, kita perlu terlebih dahulu mengetahui Relasi antara Negara dan Agama.
Gusdur dalam bukunya “Islam Kosmopolitan” yang menjelaskan mengenai relasi antara agama dan negara. Secara garis besar dapat dikategorikan sebagai pemikiran yang sekularistik, yaitu pemisahan antara agama dan negara. Karena menurutnya, kalau agama diideologikan fungsinya akan terdistorsi dan bukan malah mendapatkan struktur yang lebih baik, melainkan justru akan memicu disintegrasi yang berbasis sektarian dan konflik horizontal. Dalam hal ini Gus Dur lebih memilih pola hubungan antara agama dan negara terpisah, kerena masing-masing mempunyai otoritas tersendiri. Namun, negara harus memberikan jaminan yang konkret.Negara tidak boleh mengintervensi urusan-urusan agama masyarakat. Begitu juga sebaliknya agama tidak perlu mengemis legitimasi kepada negara karena hal tersebut bukan menguatkan eksistensi agama sebagai kepercayaan, melainkan justru merendahkan. Oleh karena itu, Gus Dur senantiasa mengecam upaya simbolisasi-formalistik atas agama dalam ranah bernegara.
Agama harus dimaknai dengan mendalam, yaitu menghadirkannya sebagai kekuatan moral negara, bukan ideologi tertentu bagi kepentingan Negara. Gus Dur memandang bahwa negara tidak harus berbentuk negara Islam, yang penting tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Artinya agama tidak sedalam idelogi bernegara sehingga ketika mendalami agama seharusnya bisa kosmik antara pemikiran bernegara dan beragama untuk mewujudkan masyarakat kosmologi yang saling menghargai satu sama lain.
Tidak jauh berbeda dengan pandangan Gusdur, Nurcholis Madjid memandang Agama dan Negara adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, namun tidak berarti bahwa antara keduanya itu identik. Karena itu, menurut Cak Nur agama dan negara dalam Islam meskipun tidak terpisahkan, namun tetap dapat dibedakan: tidak terpisah, namun berbeda. Disinilah pentingnya konsep sekularisasi, tidak mencampuradukkan antara agama dan negara. Negara merupakan salah satu aspek kehidupan duniawi (sekular) yang dimendinya adalah rasional dan kolektif. Sedangkan agama merupakan aspek kehidupan lain yang dimensinya adalah spiritual dan individual.
Memang diantara keduanya tidak dapat dipisahkan, namun tetap harus dibedakan. Oleh karenanya, Cak Nur menolak formulasi agama dalam bentuk negara (negara Islam, negara Kristen, negara Hindu,dll) dan menerima Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa Indonesia.
Mengapa pancasila sebagai solusi dalam sekte agama, karena pancasila menjadi pedoman negara indonesia. Pancasila memiliki nilai-nilai universal sehingga pancasila dirumuskan oleh soekarno bukan hanya untuk islam nmelainkan untuk semua agama sehingga kalau kita tinjau historisnya pancasila hadir dari dalam jiwa nusantara itu sendiri
Dengan adanya pancasila sebagai ideologi negara menjadikan perbedan menjadi suatu keharmonisan dalam bersosial dan beragama seperti yang dijelaskan oleh bung Karno dalam “Falsafah Pancasila” , bahwa pancasila bukannya suatu konsepsi politis, akan tetapi buah hasil perenungan jiwa yang dalam, buah hasil penyelidikan cipta yang teratur dan seksama diatas basis pengetahuan dan pengalaman yang luas dan tidak begitu saja dapat dicapai oleh sembarang orang.
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap hidup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dari nilai-nilai budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa Indonesia. Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan atau kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila Sebagai Jiwa Bangsa Indonesia. Menurut Von Savigny bahwa setiap bangsa punya jiwanya masing-masing yang disebut Volkgeist, artinya Jiwa Rakyat atau Jiwa Bangsa. Pancasila sebagai jiwa Bangsa Indonesia lahir bersamaan dengan adanya Bangsa Indonesia sendiri yaitu sejak jaman dahulu kala. Menurut Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo bahwa Pancasila itu sendiri telah ada sejak adanya Bangsa Indonesia. karena Pancasila memberikan corak yang khas kepada bangsa Indonesia dan tak dapat dipisahkan dari bangsa Indonesia, serta merupakan ciri khas yang dapat membedakan bangsa Indonesia dari bangsa yang lain. Terdapat kemungkinan bahwa tiap-tiap sila secara terlepas dari yang lain bersifat universal, yang juga dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia ini, akan tetapi kelima sila yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan itulah yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia
Asas-asas yang tercantum dalam pancasila yang menjadi cita-cita negara Indonesia; perwujudan dari asas perikemanusiaan adalah hak kemerdekaan perikeadilan, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial: perwujudan dari asas kebangsaan berupa kesatuan bangsa dan seluruh tumpah darah serta kedaulatan; asas kerakyatan diwujudkan dalam kedaulatan rakyat, dan asas keadilan sosial disifatkan sebagai kesejahteraan umum. Pancasila menjelaskan serta menegaskan corak – warna atau watak rakyat kita sebagai bangsa-bangsa yang beradab, bangsa yang berkebudayaan, bangsa yang menginspirasi keluhuran dan kehalusan hidup manusia, serta sanggup menyesuaikan hidup kebangsaannya dengan dasar perikemanusiaan yang universal meliputi seluruh alam kemanusiaan yang seluas-luasnya. Salah satu kutipan yang di ucapkan Bung Karno ialah "cobalah menghubungkan ilmu dengan amal, pengetahuan ialah perbuatan, dan perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. Ilmu dan amal harus saling wahyu – mewahyu.
Adapun sila pancasila dan maknanya ialah:
Pancasila :
1.ketuhanan yang maha esa
2. kemanusiaan yang adil dan beradap 
3. persatuan Indonesia
4. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan
5. keadilan sosial bagi seluruh Indonesia
Makna dari sila-sila pancasila
1. Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama) yaitu Tuhan yang Maha Esa Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agamanya.Tidak memaksa warga negara untuk beragama. Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan dalam beribadah menurut agamanya masing-masing. Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
2. Menempatkan manusia sesuai dengan hakikatnya sebagai makhluk Tuhan Menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak segala bangsa. Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah.
3. Nasionalisme. Cinta bangsa dan tanah air. Menggalang persatuan dan kesatuan Indonesia. Menghilangkan penonjolan kekuatan atau kekuasaan, keturunan dan perbedaan warna kulit. Menumbuhkan rasa senasib dan sepenanggungan.
4. Hakikat sila ini adalah demokrasi. Permusyawaratan, artinya mengusahakan putusan bersama secara bulat, baru sesudah itu diadakan tindakan bersama. Dalam melaksanakan keputusan diperlukan kejujuran bersama.
5. Memakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat. Seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Melindungi yang lemah agar kelompok warga masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya. Sikap positif terhadap nilai-nilai pancasila Nilai-nilai Pancasila telah diyakini kebenarannya oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mengamalkan Pancasila merupakan suatu keharusan bagi bangsa Indonesia.
Jika kita melihat konsep dasar pancasila, maka seharusnya pancasila sebagai konsep yang relevan di negara yang plural ini, namun pada faktanya 73 tahun indonesia pasca Bung Karno menetapkan Pancasila sebagai dasar negara belum mampu untuk meretas segala konflik sara yang terjadi, terutama konflik agama. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa fase meledaknya konflik zara di Idonesia adalah ketika berakhirnya masa Orde Baru. Pertanyaannya kemudian apa faktor yang mempengaruhi penerapan Pancasila di Negeri ini ? dan metode apa yang seharusnya digunakan agar pancasila ini bukan hanya sebagai konsep ideal, tetapi juga dapat diaplikasikan ?
Ada beberapa faktor mengapa pancasila tidak aktual pada masyrakat indonesia ini yaitu:
1. Terorisme
2. Globalisasi
3. Disintegrasi Bangsa
4. Agama (Ideologi Pancasila menuju Syarikat Islam)
5. Korupsi
Adapun metode dalam menyelesaikan masalah pancasila dalam masyrakat yaitu:
1. Revitalisasi Pancasila
Akar permasalahan dari terorisme adalah benturan filsafat universal yang saling bertolak belakang dan Pancasila dapat digunakan sebagai sarana terapi atas kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Revitalisasi Pancasila dalam kehidupan masyarakat dibutuhkan untuk menyatukan bangsa sekaligus membendung masuknya ideologi transnasional ke benak masyarakat Indonesia. Penerapan pancasila secara tepat dan bertanggungjawab harus ditingkatkan dari waktu ke waktu. Dengan demikian ancaman dari luar maupun dari dalam negeri bisa dibendung dan diatasi bersama dengan persatuan dan kesatuan Indonesia untuk kepentingan bersama. Pendekatan Sosio-Kultural sebagai alternatif penyelesaian. Memerangi terorisme tidaklah cukup dan tidak akan pernah berhasil hanya dengan menindak pelaku teror dan peledakan bom dengan kekerasan. Fakta telah menunjukkan bahwa membunuh pelaku teror, mengisolasinya dan memenjarakan para pemimpin organisasi teroris tidak mampu menghentikan tindakan terorisme dalam waktu lama. Seperti yang terjadi di Indonesia sendiri, evakuasi terhadap pelaku bom Bali dengan cara penembakan secara membabi buta, dikecam oleh barbagai pihak dan dianggap sebagai hukuman yang tidak manusiawi. Bahkan, para keluarga dan kerabat jelas-jelas memprotes prosesi tersebut. Dikhawatirkan dari pihak tertentu akan timbul dendam untuk membalas dan memunculkan suatu tindakan terorisme baru yang mungkin lebih parah dari yang sebelumnya.
2. Globalisasi
Perlunya strategi yang tepat untuk menghadapi globalisasi dengan gaya kapitalis dan liberalis yaitu Indonesia harus memiliki system pemerintahan yg kuat dengan strategi yg jelas dan memberlakukan hukum yang mengikat kuat pada individu, masyarakat serta membuat kesepakatan dengan negara-negara asing dalam melakukan hubungan kerjasama yang jelas tanpa adanya ketimpangan kebijaksanaan yang justru merugikan satu negara dan menguntungkan negara lain dalam melakukan kerja sama, dengan memberikan banyak persyaratan- persyaratan kepada Negara Indonesia sebagai negara penerima bantuan pinjaman dari para pengusung gaya kapitalis tersebut.
3. Disintegrasi bangsa
Pemerintah Indonesia mesti memiliki kemauan politik yang sungguh-sungguh dan didukung oleh semua pihak untuk mempertanggungjawabkan berbagai ‘Crime Against Humanity’ dengan membawa keadilan remedy kepada rakyat Papua Barat, Rekonsiliasi dan Perdamaian. Justice ini penting untuk memulihkan secara psikologis penderitaan korban atau keluarga korban selama bertahun-tahaun mengalami penderitaan, tetapi juga sebagai proses law enforcement, menanamkan kultur supremasi hokum di atas segala kepentingan.
Proses rehabilitasi, terutama healing proscess melalui berbagai bentuk kegiatan untuk membebaskan rakyat secara psikologis dari beban trauma, dendam dan kebencian yang diendapkan dari pengalaman buruk yang dialami.
Membangun kultur penghormatan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi melalui berbagai bentuk pendidikan HAM dan Demokrasi.
4. Agama (ideologi menuju syariat islam)
Belakangan ini banyak kalangan khawatir Pancasila akan tergantikan oleh ideologi lain, Islam misalnya, karena banyak produk Undang-Undang atau Perda yang Islami Boleh-boleh saja kekhawatiran semacam itu. Tapi, akan lebih baik bila tidak ada perda Syariat Islam, tetapi secara realitas perda itu sudah ada. Prosesnya dilakukan secara demokratis dari bawah. Sebaiknya jangan disebut perda Syariat Islam karena akan mengulangi pertentangan kelompok Islam dengan kelompok nasionalis. Tidak boleh ada perda yang bertentangan dengan UU, UUD atau Pancasila. Karena itu, perlu ada penyelesaian yang baik. Perda Syariat Islam yang ada sebaiknya diinventarisir dan dikaji lagi apakah bertentangan dengan peraturan di atasnya. Kemudian, kalau perda itu tidak ada sanksinya tidak ada masalah karena lebih bersifar himbauan. Tetapi kalau ada sanksinya, maka hukum acaranya tidak boleh bertentangan dengan hukum acara yang sudah berlaku.
5.Korupsi
Dampak korupsi sudah jelas! Korupsi bikin mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barang dan jasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktik suap-menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan pelaku ekonomi.

Rujukan:
Bungkarno (falsafah pancasila), Nur cholismajid (islam doktrin dan peradaban), abdulrahman wahid (islam kosmopolitan), max weber (etika protestan dan semangat kapitalisme), soerjono soekanto (ringkasan sosiologi), coser (teori konflik), keren amstrong (The Battle for God: A History of Fundamentalism), heriyanto (Nalar Saintifik Peradaban Islam), nur cholismajid (masyarakat religius)

Penulis : Al Taher Lobubun
Editor : Rizal Fatoni

Komentar

Karya Intektual Insan Akademis